Mute Mask

*demi kelancaran penggunaan standarisasi bahasa Indonesia yang baik, saya akan menggunakan kata orang pertama "Aku" di postingan ini*



Kalo dilihat kembali, Jakarta kini lebih rumit dan lebih parah dari Jakarta yang beberapa tahun sebelumnya. Sudah pasti karena membengkaknya populasi masyarakat Jakarta dikarenakan banyak yang melakukan urbanisasi dari desa-desa terpencil ke Jakarta hanya dengan alasan mencari sesuap nasi, tetapi kenyataannya mereka malah merasakan kejamnya ibu kota. Hal ini tidak dirasakan olehku, memang terdengar egois dan sangat sombong, namun aku tidak mungkin menjadi seorang yang munafik hanya dengan mengatakan "kasian sekali mereka, tidak mendapat pekerjaan" justru menurutku itu lebih menyakitkan. Aku berpikir kalau hidupku ini adalah pacuan kuda, aku harus mencapai garis finish as soon as possible, tanpa harus berpikir bahwa teman-temanku yang lain juga ikut dalam pacuan kuda tersebut. Memang kali ini postingan dariku sangat terdengar egois dan tidak manusiawi. Tetapi apa salahnya aku menulis dengan gaya yang berbeda? mungkin buat teman-temanku, mereka berpikir aku tidak berani mengeluarkan statement dengan rasa kontroversial yang sangat tinggi, tetapi sayangnya, tidak untuk saat ini.

Kali ini aku menulis di atas rasa kegentingan yang begitu tinggi, adrenalinku begitu menggebu-gebu, otakku benar-benar tidak bisa berpikir secara normal. Keadaan di sekitarku bagaikan kumpulan bisikan-bisikan diriku yang kali ini dibelenggu oleh rasa egois dan psikotik.

Kembali lagi ke pacuan kuda, hidupku bisa dianalogikan secara demikian. Namun mengenai Jakarta yang penuh sesak oleh orang-orang purposeless, aku berpikir kenapa mereka tidak mencari kegiatan yang lain di daerah asal mereka? Menurutku, setiap manusia diciptakan oleh Tuhan sudah sepaket dengan bakat alami yang mereka miliki masing-masing, hanya saja mungkin mereka tidak mempunyai alat untuk mengasah bakat mereka tersebut. Alasan mengapa aku menulis sesaknya Jakarta di awal postingan ini adalah aku sudah sangat muak dengan Jakarta, Jakarta menurutku hanya kota dengan kostum yang sangat indah, tetapi kalo diliat secara inferior, banyak sekali sisi negatif dari kota ini, sekali lagi, aku tidak ada maksud buruk tentang opiniku mengenai kota yang tidak pernah tidur ini.

Aku lahir ditengah Jakarta yang hiruk pikuk, penuh sesak, dan ramai. Dan pada awalnya aku merasa Jakarta bagaikan surga dunia bagiku, semuanya pada saat aku kecil merupakan hal yang sangat indah untuk dilihat, aku dibawa oleh Ayah ke jalan sabang, McDonald Sarinah, Melawai, Plaza Senayan, Sentrum dan banyak tempat lainnya dimana kalau aku ingat-ingat masa kecilku begitu indah karena tiada hari tanpa plesiran ke tempat-tempat tersebut. Seiring waktu berjalan, akhirnya aku dibungkus seragam dan mau tidak mau harus menjalani tujuan pendidikan formal, aku bersekolah di SD negeri yang top dan mempunyai embel-embel "percontohan" di Jakarta, begitu pula dengan SMP dan SMA, sehingga aku begitu beruntung mendapat pendidikan yang semestinya dari orang tuaku, aku bisa lulus SMA dan mengenyam pendidikan yang lebih tinggi sekarang. Aku di sekolah merupakan siswa yang biasa saja, tetapi mempunyai keinginan untuk menjadi yang spesial dan menjadi center of attention. Aku punya banyak teman, aku adalah orang yang supel. Namun, pada awalnya bagi teman-temanku, mereka mengira aku adalah orang yang pendiam dan tidak bermulut. Itu adalah kesan pertama yang sangat wajar, aku mencoba untuk mengenakan topeng yang berbeda, sebelum calon teman-temanku bisa menyelami aku lebih dalam lagi. Namun, kebalikannya, aku adalah pribadi yang absurd, bukan karena aku tidak berkepribadian dan berkarakter. Aku adalah tipikal orang yang fleksibel, namun tidak luput dari rasa humor. Bagiku, humor adalah segalanya, aku bisa selalu mencari bahan lelucon untuk pergaulanku bahkan gunjingan. Aku juga termasuk orang yang sangat gampang untuk tersenyum, selain senyum itu ibadah, aku selalu beranggapan bahwa senyum itu adalah senjata ampuh pencair keadaan yang kaku. Dan aku ingin orang-orang tidak berasumsi bahwa aku adalah orang yang sombong dan pemilih. Justru itu aku lebih memilih senyum ketimbang ekspresi yang lain.

Namun, menurutku, aku salah besar. Dalam bergaul, aku kali ini mengambil langkah yang benar-benar salah. Aku mengambil resiko mengenakan topeng di depan teman-temanku.
Mungkin agak membingungkan, aku adalah tipe orang yang tidak bisa mengeluarkan apa yang aku rasakan. Berbeda dengan teman-temanku, mereka sangat gampang untuk mengeluarkan apa yang mereka rasakan. Misalnya si A yang sangat membenci si B karena kelakuan si B merugikan si A dan yang lain, maka pada saat itu si A langsung melakukan gencatan kepada si B secara terang-terangan dan frontal, larut dalam emosi. Aku ingin menjadi seperti si A, namun aku berpikir lebih baik aku simpan di dalam hati saja, daripada kemungkinan-kemungkinan terburuk yang lain akan datang nantinya.

Hal ini bisa kujalani dengan sempurna selama hampir 6 tahun belakangan ini, (terhitung dari SMP yang dimana masalah pergaulan muncul secara terang-terangan) namun hal yang sangat susah untuk aku hindari adalah dalam masalah internal atau secara kasar, masalah keluarga. Efek yang sangat buruk dari topeng yang aku kenakan ini adalah aku tidak bisa menyampaikan aspirasiku kepada mereka secara terang-terangan kepada mereka, karena disertai beberapa alasan yag sangat kompleks.
Lalu aku bisa didefinisikan sebagai seorang yang sukses mengenakan topeng Mute Mask untuk jangka waktu yang sangat panjang.

Namun, pernahkah kalian berpikir bahwa sekarang dimana kalian membaca tulisanku, aku adalah orang yang TERTUTUP?
Sekali lagi, setelah mebaca tulisan ini, apakah aku orang yang SUKA MEMENDAM PERASAAN?
setelah aku berpanjang lebar menuturkan mengenai diriku dan kota Jakarta, apakah kalian berpikir aku tipe orang yang TIDAK PUNYA MULUT?

jawabannya kembali lagi ke pikiran masing-masing.
yang jelas pada saat ini, aku masih tetap untuk mencoba menjadi diriku seutuhnya, tak ada tendency untuk menjadi orang yang sangat terbuka sekali, tidak juga menjadi orang yang sangat tertutup.

Cheers
MySpace

2 comments:

asta said...

hahahahaha "tidak untuk saat ini"
i like your way of writing!
banyak sekali perkembangan!!

good job dude

Alvi said...

berani banget jek.
but I appreciate your writing, beda, unik, dan terkesan sombong sih pas ngomongin Jakarta.
tapi kalo namanya nulis, kejujuran dan keberanian emang harus menyertai kita.
karena itu akan membentuk kepribadian kita dan gaya menulis kita :)

cheers dear!

Post a Comment